GEREJA TORAJA DAN HAM
Oleh : Dr. Kristian HP Lambe
Dalam rangka mewujudkan Gereja Toraja yang inklusif berbasis HAM.
Terminologi inklusi adalah sebuah pendekatan untuk membangun lingkungan
yang terbuka bagi siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda,
meliputi karakter, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan lain
sebagainya. Contohnya; penyandang disabiltas, perempuan kepala keluarga korban
kekerasan, korban KDRT, lansia, anak-anak yang berhadapan hukum akibat korban
narkoba, begal, korban sex bebas, masyarakat miskin, marjinal, dan kelompok
rentan lainnya. Sehingga mereka bukan lagi kelompok sosial yang memiliki ciri
negatif atau stigma sosial.
Tiga isu global utama saat ini adalah:
1. Perdamaian, perang Rusia-Ukraina, dan krisis kemanusian (Afganistan,
Myanmar, Israel-Palestina)
2. Lingkungan: perubahan iklim dan krisis pangan& energi
3. Pencapaian SDGs: mengenai kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan belum
tercapai.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), menghadirkan peran Gereja Toraja
dalam pemajuan dan perlindungan HAM, dalam konteks penyelesaian beberapa
akar masalah inklusi sosial serta konflik agraria (mafia tanah) seperti kasus
lapangan gembira. Tentunya menolak dengan tegas segala macam bentuk
penindasan, intimidasi, merampas hak orang miskin, janda, lansia, diskriminasi
terhadap disabilitas, dan perlindungan kelompok rentan lainnya.
Selain itu, partisipasi dan peran strategis Gereja Toraja terhadap Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dapat mengakomodir peran aktif masyarakat
dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM.
Konteks HAM dalam ajaran Gereja Toraja adalah hak warga jemaat yang melekat
pada diri manusia sebagai insan ciptaan Allah. Hak ini diberikan kepada individu
atas dasar kedudukan, pangkat, jabatan, kehormatan, dan situasi. Memperkokoh
keragaman dan inklusi.
Dasar pemahaman Kristen terhadap HAM adalah kemahakuasaan Allah dan
keterbatasan manusia dalam bertindak. Manusia diberikan akal budi kepintaran dan
roh hikmat kebijaksanaan untuk menyelesaikan masalah di bumi ini. Kedaulatan
Allah yang universal dimana manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Sebagaimana telah diperintahkan Tuhan dengan hukum kasih yang tertuang dalam
Matius 22:37-40.
Dengan pendekatan inklusif yang berbasis HAM, maka Gereja Toraja
diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi pada warga
jemaat seperti angka bunuh diri terus bertambah, kasus perceraian meningkat,
banyaknya kasus kekerasan seksual anak, pernikahan dini, kasus narkoba, seks
bebas tidak terkendali, kenakalan remaja, sampai perempuan korban KDRT, dan masih banyak lagi fenomena sosial lainnya seperti tedong silaga dan judi sabung
ayam yang terstruktur dan masif.
Perilaku bunuh diri atau mentuyo semakin mengkhawatirkan karena sebarannya
hampir merata di seluruh kecamatan di Toraja sehingga menimbulkan spekulasi
bahwa mentuyo memiliki dampak penularan (contagion effect) yang berantai bahkan
menjadi “budaya baru.”
Demikian pula maraknya kasus penyalahgunaan Narkoba anak dibawah umur.
Terdapat 224 kasus pidana dan korban dijebloskan kepenjara. Tersangka 362
orang, serta total pasien penyalahgunaan narkoba 954 kasus.
Peristiwa perceraian dari 210 perkara perdata yang masuk di Pengadilan Negeri
Makale, ada 165 kasus perceraian yang ditangani.
Dan masih banyak problematika inklusi sosial lainnya yang terjadi di masyarakat.
Kiranya Rapat Kerja II Gereja Toraja mampu menghasilkan program kegiatan yang
berbasis HAM serta rekomendasi-rekomendasi yang positif dan konstruktif guna
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.
“Bertambah Teguh Dalam Iman dan Pelayanan Bagi Semua”
Makale, 24 Oktober 2022
Dr. Kristian H.P. Lambe
(Sosiolog)