𝗠𝗲𝗻𝗰𝗮𝗿𝗶 𝗜𝗹𝗺𝘂 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗼𝗹𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗞𝗼𝗽𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗖𝗼𝗸𝗲𝗹𝗮𝘁 𝗱𝗶 𝗕𝗮𝗹𝗶: 𝗦𝗲𝗯𝘂𝗮𝗵 𝗖𝗮𝘁𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗧𝗮𝗯𝗮𝗻𝗮𝗻, 𝗚𝗶𝗮𝗻𝘆𝗮𝗿, 𝗱𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗻𝗴𝗹𝗶
Oleh: Leo Mdb
𝑷𝒓𝒐𝒍𝒐𝒈: 𝑺𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝑷𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏𝒂𝒏 𝑴𝒆𝒏𝒄𝒂𝒓𝒊 𝑹𝒂𝒔𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊
Perjalanan saya dan rekan-rekan dari Sulawesi Barat menuju Bali bukan sekadar wisata belajar. Kami datang untuk menimba ilmu—bukan tentang cara menanam, tetapi bagaimana mengelola, mengolah, dan memasarkan hasil bumi agar bernilai tinggi. Dalam dua hari penuh, saya berkeliling ke Tabanan, Gianyar, dan Bangli, menyusuri aroma kakao dan kopi yang menggugah, menyimak kisah perjuangan petani, sekaligus menyaksikan bagaimana pengetahuan, manajemen, dan digitalisasi mengubah wajah pertanian modern.
Di setiap langkah perjalanan, saya menemukan satu pesan kuat: petani yang cerdas bukan hanya yang pandai menanam, tapi yang mampu memahami rantai nilai—dari kebun hingga pasar global. Itulah semangat yang saya bawa pulang dari forum pembelajaran ini: bahwa di balik setiap biji cokelat dan tetes kopi, ada ilmu yang panjang, ada etika, dan ada narasi keberlanjutan yang tidak kalah penting dari cita rasa itu sendiri.
𝗕𝗮𝗯 𝟭. 𝗛𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮: 𝗕𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗡𝗶𝗹𝗮𝗶 𝗧𝗮𝗺𝗯𝗮𝗵 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗖𝗼𝗸𝗲𝗹𝗮𝘁 𝗝𝘂𝗻𝗴𝗹𝗲𝗚𝗼𝗹𝗱 𝗕𝗮𝗹𝗶
Kami tiba di Kabupaten Tabanan, Bali bagian barat, tempat berdirinya JungleGold Bali, sebuah perusahaan pengolah cokelat yang telah menembus pasar premium dunia. Dari luar, bangunannya sederhana. Namun begitu melangkah ke dalam, tampak jelas bagaimana filosofi dan sistem kerja mereka menanamkan nilai tambah di setiap tahap produksi.
Kunjungan dimulai dengan penyambutan hangat dari tim JungleGold dan kelompok tani binaan asal Jembrana. Mereka menjelaskan bagaimana konsep end-to-end supply chain menjadi dasar sistem mereka: dari kebun, fermentasi, pengeringan, hingga kemasan ekspor, semua dilakukan secara terintegrasi dengan prinsip keadilan untuk petani.
𝑷𝒆𝒕𝒂𝒏𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝑴𝒂𝒏𝒂𝒋𝒆𝒎𝒆𝒏 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊
Seorang ketua kelompok tani dari Jembrana membuka sesi diskusi dengan kalimat sederhana namun bermakna dalam:
“𝐾𝑎𝑚𝑖 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑛𝑎𝑚, 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑜𝑙𝑎.”
Kalimat itu menampar kesadaran kami. Petani memang ahli di kebun, tapi belum tentu paham soal manajemen usaha: pencatatan keuangan, pengemasan, branding, dan legalitas. Banyak hasil panen yang berkualitas justru kehilangan nilai karena tidak dikelola secara profesional.
Dari pemaparan kelompok tani Jembrana, saya mencatat bahwa kesenjangan kapasitas antara kemampuan teknis dan kemampuan manajerial menjadi akar persoalan klasik petani di berbagai daerah, termasuk di Mamasa. Teknik budidaya yang baik tidak akan banyak berarti tanpa manajemen mutu dan pasar yang jelas.
Fermentasi dan pengeringan biji kakao misalnya, memiliki pengaruh langsung terhadap harga jual. Di JungleGold, mereka menerapkan standar sederhana tapi disiplin: suhu, waktu fermentasi, hingga kelembapan pengeringan diukur dan dicatat. Standarisasi ini membuat produk mereka bisa naik kelas dari kakao biasa menjadi bahan baku cokelat premium.
𝑪𝒐-𝑭𝒐𝒖𝒏𝒅𝒆𝒓 𝑱𝒖𝒏𝒈𝒍𝒆𝑮𝒐𝒍𝒅: 𝑳𝒆𝒈𝒂𝒍𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝑬𝒕𝒊𝒌𝒂 𝑩𝒊𝒔𝒏𝒊𝒔
Selanjutnya, Gusti, Co-Founder JungleGold, memberikan paparan inspiratif tentang perjalanan bisnis mereka. Ia menjelaskan bahwa legalitas bukan sekadar urusan administratif, melainkan pondasi kepercayaan.
“𝑃𝑒𝑟𝑖𝑧𝑖𝑛𝑎𝑛 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎. 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑙𝑒𝑔𝑎𝑙, 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑟𝑡𝑖 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑟𝑎.”
JungleGold membangun model pembinaan hulu-hilir: mereka membeli biji kakao langsung dari petani binaan di berbagai wilayah Indonesia—Papua, Sulawesi, NTT, hingga Sumatera. Setiap daerah memiliki karakter rasa yang unik, dan semua dikelola dengan sistem traceability yang ketat.
Saya belajar bahwa kekuatan mereka bukan hanya pada kualitas cokelat, tapi juga pada cerita di baliknya. Di pasar global, cerita tentang asal-usul dan proses etis sering kali lebih bernilai daripada harga itu sendiri. JungleGold menjadikan storytelling sebagai bagian dari strategi branding. Di setiap kemasan, ada kisah tentang petani, tanah, dan proses yang membentuk rasa khas cokelat Bali.
𝑹𝒆𝒇𝒍𝒆𝒌𝒔𝒊 𝑯𝒂𝒓𝒊 𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂
Menutup sesi di Tabanan, saya merenung bahwa tantangan terbesar bagi UMKM di Sulawesi Barat bukan sekadar pada produksi, tapi pada pembentukan nilai. Tanpa legalitas, manajemen usaha, dan branding yang kuat, produk sehebat apa pun akan sulit menembus pasar. JungleGold memberi contoh bahwa profesionalisme tidak harus mahal—yang penting adalah disiplin dan kejujuran dalam setiap tahap kerja.
𝗕𝗮𝗯 𝟮. 𝗕𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗦𝘂𝗸𝘀𝗺𝗮 𝗞𝗼𝗽𝗶 𝗨𝗯𝘂𝗱: 𝗜𝗻𝗼𝘃𝗮𝘀𝗶, 𝗟𝗲𝗴𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀, 𝗱𝗮𝗻 𝗝𝗲𝗷𝗮𝗿𝗶𝗻𝗴 𝗣𝗮𝘀𝗮𝗿
Perjalanan hari pertama berlanjut ke Kabupaten Gianyar, tepatnya ke Suksma Kopi Ubud, sebuah rumah produksi dan kafe yang menjadi pelaku utama kopi Arabica Kintamani. Suasana Ubud yang tenang terasa kontras dengan semangat diskusi kami yang penuh antusias.
𝑷𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝑺𝒖𝒌𝒔𝒎𝒂 𝑲𝒐𝒑𝒊
Narasumber dari Suksma menekankan pentingnya perizinan cepat dan lengkap sebagai syarat utama menembus pasar modern. Mereka berbagi kisah bagaimana proses legalitas—mulai dari NIB hingga sertifikat mutu—membuka akses ke jaringan ritel dan eksportir.
Selain itu, inovasi produk menjadi fokus berikutnya. Mereka tak sekadar menjual kopi biji sangrai, tetapi juga berbagai varian olahan. Inovasi dikombinasikan dengan storytelling digital—cerita tentang petani, rasa, dan filosofi disampaikan lewat media sosial, foto, dan video yang estetik.
𝑻𝒂𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑺𝒌𝒂𝒍𝒂 𝑷𝒓𝒐𝒅𝒖𝒌𝒔𝒊
Namun, Suksma juga jujur soal keterbatasan: produksi kecil sulit memenuhi permintaan besar. Tantangan ini umum dihadapi banyak produsen di daerah, termasuk Mamasa. Solusinya, kata mereka, adalah aggregator—pengelompokan produsen agar volume tetap konsisten tanpa mengorbankan kualitas.
Pelajaran penting dari Suksma: legalitas membuka pasar, inovasi membuka peluang, dan kolaborasi menjaga keberlanjutan.
𝗕𝗮𝗯 𝟯. 𝗛𝗮𝗿𝗶 𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮: 𝗠𝗲𝗻𝗰𝗶𝗰𝗶𝗽𝗶 𝗜𝗱𝗲𝗮𝗹𝗶𝘀𝗺𝗲 𝗞𝗼𝗽𝗶 𝗞𝗶𝗻𝘁𝗮𝗺𝗮𝗻𝗶 𝗱𝗶 𝗔𝗸𝗮𝘀𝗮
Hari kedua membawa kami ke Kabupaten Bangli, di mana berdiri Akasa Kopi, sebuah usaha kopi spesialti dengan filosofi kuat: Single Origin 100% Arabica Kintamani. Bertemu dengan pendirinya, Agus Harditya, membuka wawasan baru tentang bagaimana idealisme dapat menjadi strategi bisnis.
𝑺𝒊𝒏𝒈𝒍𝒆 𝑶𝒓𝒊𝒈𝒊𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝑰𝒅𝒆𝒏𝒕𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝑰𝒅𝒆𝒐𝒍𝒐𝒈𝒊
Agus menyampaikan dengan tegas:
“𝐾𝑎𝑚𝑖 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑚𝑝𝑢𝑟 𝑏𝑖𝑗𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑙𝑢𝑎𝑟. 𝐾𝑎𝑚𝑖 𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑗𝑢𝑗𝑢𝑟 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝐾𝑖𝑛𝑡𝑎𝑚𝑎𝑛𝑖.”
Keputusan untuk tetap single origin bukan sekadar strategi pasar, melainkan bentuk tanggung jawab moral terhadap petani dan konsumen. Di era di mana banyak produsen mengejar volume, Akasa memilih menjaga integritas.
Idealisme ini justru menjadi kekuatan utama mereka. Konsumen global—terutama dari Korea Selatan dan India—menghargai kejujuran merek yang menjaga keaslian rasa dan asal produk.
𝑹𝒂𝒏𝒕𝒂𝒊 𝑷𝒓𝒐𝒅𝒖𝒌𝒔𝒊 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝑯𝒖𝒍𝒖 𝒌𝒆 𝑯𝒊𝒍𝒊𝒓
Akasa Kopi mengelola rantai produksi secara penuh: dari pembibitan, pemetikan, pengolahan, hingga pemasaran di kafe milik sendiri. Kami diajak berkeliling melihat ruang sangrai, hingga coffee bar tempat pelanggan menikmati hasil akhir dari proses panjang itu. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana kontrol kualitas tidak hanya soal alat modern, tapi tentang kedekatan antara produsen dan produk.
Agus menekankan bahwa setiap tahap harus dilakukan dengan “rasa”.
“𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑛𝑖 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑠𝑒𝑠𝑛𝑦𝑎, 𝑏𝑖𝑗𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑖𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖.”
Itu bukan sekadar ungkapan puitis—melainkan refleksi tentang ownership dan kebanggaan terhadap hasil kerja sendiri.
𝑫𝒊𝒈𝒊𝒕𝒂𝒍 𝑩𝒓𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒕𝒆𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒔𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏
Salah satu hal paling menarik dari Akasa adalah cara mereka mengelola media sosial. Dengan tim kecil berisi empat orang—penulis, fotografer, videografer, dan copywriter—mereka memproduksi konten yang bercerita, bukan hanya menjual. Dengan bujet promosi sekitar lima juta rupiah per bulan, Akasa membuktikan bahwa promosi efektif tidak harus mahal, asalkan memiliki arah dan nilai yang jelas.
Mereka memasarkan kopi Kintamani sebagai kisah tentang tanah, ketinggian, dan kemurnian. Dalam dunia digital yang jenuh dengan promosi, kejujuran menjadi kekuatan baru.
𝗕𝗮𝗯 𝟰. 𝗣𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿𝗮𝗻 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗦𝘂𝗹𝗮𝘄𝗲𝘀𝗶 𝗕𝗮𝗿𝗮𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝗠𝗮𝗺𝗮𝘀𝗮
Dari Tabanan, Gianyar, hingga Bangli, saya menemukan pola yang sama: keberhasilan industri cokelat dan kopi tidak lahir dari kebetulan. Ia tumbuh dari tiga hal: pengetahuan, legalitas, dan kolaborasi.
Untuk Sulbar terutama Mamasa, yang memiliki potensi besar pada kopi arabika dan kakao, pembelajaran ini menjadi relevan. Jika petani hanya berhenti di budidaya, maka nilai ekonomi akan selalu kecil. Tapi bila mereka mampu mengelola pascapanen, membangun merek, dan terhubung dengan pasar digital, maka hasilnya bisa berlipat.
Saya membayangkan bagaimana kopi Mamasa bisa menjadi “saudara kembar” Kintamani—menonjolkan karakter rasa khas dataran tinggi Sulbar, dengan kisah petani lokal yang autentik. Begitu pula kakao Mamasa yang bisa naik kelas jika dikelola seperti model JungleGold: legal, transparan, dan bercerita.
𝗕𝗮𝗯 𝟱. 𝗥𝗲𝗸𝗼𝗺𝗲𝗻𝗱𝗮𝘀𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗥𝗲𝗳𝗹𝗲𝗸𝘀𝗶 𝗣𝗿𝗶𝗯𝗮𝗱𝗶
Hasil kunjungan ini menyadarkan bahwa untuk naik kelas, UMKM Sulbar harus bertransformasi. Berikut refleksi yang saya simpulkan:
1. 𝐿𝑒𝑔𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛, 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑡𝑖𝑘𝑒𝑡 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑟𝑛.
2. 𝑃𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑠𝑐𝑎𝑝𝑎𝑛𝑒𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑝𝑟𝑖𝑜𝑟𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑢𝑡𝑎𝑚𝑎.
3. 𝐾𝑒𝑚𝑖𝑡𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑝𝑒𝑡𝑎𝑛𝑖 (𝑎𝑔𝑔𝑟𝑒𝑔𝑎𝑡𝑜𝑟) 𝑝𝑒𝑛𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑖𝑠𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑢𝑝𝑙𝑎𝑖.
4. 𝑆𝑡𝑜𝑟𝑦𝑡𝑒𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑖𝑡𝑎𝑙 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑡𝑟𝑎𝑡𝑒𝑔𝑖 𝑚𝑢𝑟𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑎𝑚𝑝𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟.
5. 𝐸𝑡𝑖𝑘𝑎 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑗𝑢𝑗𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑎𝑠𝑎𝑙 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔.
Semua poin ini bukan teori, melainkan hasil nyata dari pelaku industri yang sudah membuktikan sendiri.
𝗕𝗮𝗯 𝟲. 𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽: 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗕𝗮𝗹𝗶 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗠𝗮𝗺𝗮𝘀𝗮
Menutup dua hari penuh pembelajaran ini, saya menulis catatan digital ini:
“𝘉𝘢𝘭𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘫𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘢𝘴𝘢, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳.”
Di JungleGold saya belajar tentang etika dan sistem; di Suksma saya belajar inovasi dan jejaring; dan di Akasa saya belajar tentang idealisme dan cinta terhadap produk lokal.
Ketiganya saling melengkapi—dan jika diterapkan di Sulbar terkhusus Mamasa, saya yakin ekonomi desa dapat tumbuh bukan hanya karena bantuan, tetapi karena pengetahuan dan kerja sama.
Mungkin inilah hakikat dari belajar lintas daerah: bukan untuk meniru, melainkan memahami nilai di balik setiap proses, lalu menyesuaikannya dengan potensi dan karakter tanah sendiri. Dari perjalanan ini, saya pulang dengan satu keyakinan kuat: bahwa biji kakao dan kopi Mamasa dan Sulbar juga bisa bicara, asal kita mau mendengar, meneliti, dan terus belajar dari pengalaman.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Barat yang telah menjadi jembatan ilmu melalui program Forum Diskusi Produk Olahan Cokelat dan Kopi di Bali.
Dukungan dan fasilitasi BI Sulbar tidak hanya membuka jalan bagi kami untuk belajar langsung dari pelaku industri terbaik, tetapi juga menanamkan semangat baru: bahwa penguatan ekonomi daerah harus dimulai dari pengetahuan, jejaring, dan keberanian untuk berinovasi.
Full Video: https://youtu.be/OYmLCJ_QAMs?si=o2n0pgNwAcbf2SKw
Bali, 17.10.2024 | Leonard (Leo Mdb)
17.10.2025 | 𝑳𝒆𝒐 𝑴𝒅𝑩 | 𝑴𝒅𝑩 𝑻𝑽 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 | 𝒎𝒂𝒓𝒌𝒆𝒕𝒊𝒏𝒈: 𝒂𝒅𝒗𝒆𝒓𝒕𝒐𝒓𝒊𝒂𝒍/𝑰𝒌𝒍𝒂𝒏/𝑷𝒖𝒃𝒍𝒊𝒌𝒂𝒔𝒊 𝑩𝒊𝒔𝒏𝒊𝒔: 0853 4288 0606 𝑫𝒐𝒏𝒂𝒔𝒊: 𝑮𝒐𝑷𝒂𝒚/𝑫𝒂𝒏𝒂/𝑳𝒊𝒏𝒌𝑨𝒋𝒂 (0853 4288 0606)
https://www.facebook.com/groups/829603758924865/?ref=share&mibextid=NSMWBT
Ayo bergabung dalam grup diatas untuk berdiskusi, berbagi informasi aktual, dan menyampaikan kritik konstruktif kepada Pemerintah Mamasa. Grup ini terbuka dan demokratis!

.jpg)



